Kamis, 04 April 2013

Force Distribution & Forced Rank


Di dalam praktek penilaian kinerja, masih banyak yang mempersepsikan bahwa forced distribution dan forced ranking adalah hal yang sama. Pada kenyataannya hal tersebut adalah berbeda. Berikut adalah sari pemahaman yang diambil dari Dick Grote dalam bukunya Forced Ranking; Making Performance Management Work.


Kedua metode, forced distribution dan forced ranking, digunakan dalam suatu kondisi dimana proses penilaian tidak berjalan dengan obyektif, sehingga terjadi inflasi penilaian dimana hampir seluruh pegawai mendapatkan nilai yang tinggi. Dalam kondisi demikian, organisasi perlu menerapkan “alat” yang dapat digunakan untuk melakukan kategorisasi kinerja pegawai mengingat nilai kinerja dapat digunakan sebagai dasar proses pengelolaan pegawai lainnya.
Forced Distribusi atau terjemahan bebasnya distribusi paksa adalah suatu distribusi yang disepakati oleh organisasi untuk diterapkan pada suatu populasi, dalam hal ini untuk penilaian kinerja, untuk tujuan menyusun kategorisasi kinerja pegawai. Dengan menggunakan distribusi yang telah ditetapkan sebelumnya, penilai akan memiliki pedoman kuantitas pegawai yang akan mendapatkan nilai tertentu dibandingkan dengan jumlah pegawai dalam populasi.


Distribusi paksa adalah merupakan penilaian yang berdasarkan perbandingan absolut (absolut comparisons) antara standar yang ditetapkan dengan hasil kinerja pegawai. Dengan demikian penilai akan melakukan penilaian hasil kinerja pegawai dengan kriteria yang sudah dijadikan standar. Contoh dari distribusi yang umumnya digunakan adalah:

  • Distinguished 5%
  • Superior 20%
  • Good Solid Performer 50%
  • Needs Improvement 20%
  • Unsatisfactory 5%



Terdapat dua permasalahan utama yang dikemukakan oleh Grote dalam penerapan distribusi ini, pertama, distribusi yang diterapkan kurang memiliki fleksibilitas. Dalam suatu kasus dalam suatu populasi yang jumlah pegawainya 100, maka penilai tidak akan dapat memberikan nilai distinguished lebih dari 5 pegawai. Dalam penerapan distribusi di atas, yang merupakan mirroring dari bell curve, permasalahan yang terjadi adalah penilaian manusia tidak selamanya selalu sama dengan bell curve. Pertama, karena kurva ini hanya dapat diterapkan kepada populasi dengan jumlah tertentu, dan yang kedua agar implementasinnya valid maka distribusinya harus dilakukan secara acak.


Padahal propulasi pegawai tidak dapat diacak misalnya penerimaan, promosi atau pengembangan pegawai dilakukan setiap kandidat yang ke 14, tetapi dilakukan secara masing-masing individu.
Untuk mengimplementasikan konsep forced distribution, Grote menyarankan adanya fleksibilitas dalam penilaian kinerja, sehingga distribusi yang ditawarkan tidak diterapkan secara rigid tetapi melalui fleksibilitas tertentu, yaitu:

  • Distinguished 5% maximum
  • Superior 20 - 30%
  • Good Solid Performer 50 - 60%
  • Needs Improvement 10 - 15%
  • Unsatisfactory 2 - 5%

Mengapa angka 2% disarankan, ini adalah untuk menjaga tingkat turnover pegawai dalam suatu rate tertentu setiap tahunnya.


Forced ranking adalah konsep penilaian yang menggunakan proses meranking dari seluruh pegawai dalam populasi. Berbeda dengan forced distribution yang absolut, forced ranking merupakan penilaian relatif antara satu pegawai dengan pegawai yang lainnya (person to person evaluation). Mekanisme yang dilakukan adalah melakukan perbandingan terhadap seluruh pegawai di suatu unit kerja untuk diperoleh ranking pegawai.


Kemudian ranking tersebut dikelompokkan sesuai dengan skim yang ditetapkan misalnya Top 20%, Vital 70% dan Bottom 10%, sehingga apabila total jumlah pegawai adalah 100, maka akan diperoleh 20 pegawai yang dikategorikan sebagai Top, 70 orang yang dikategorikan sebagai pegawai vital dan 10 pegawai yang dikategorikan sebagai bottom.


Kedua metode sama baiknya sepanjang diterapkan secara konsisten dan filosofinya dipahami oleh pengguna. Implementasi salah satu metode ini tetap akan membawa resistensi yang dapat disebabkan oleh banyak hal. Satu hal yang paling terpenting untuk mendukung governance pelaksanaan adalah pengguna, atau pimpinan satuan kerja. Sistem dan metode hanya sebuah alat, implementasinya dikembalikan lagi kepada pengguna.