Sabtu, 10 Oktober 2009

Lifetime Employment is dead

Dulu... ketika seseorang masuk bergabung dengan satu perusahaan, maka dia tidak akan terpikir untuk untuk keluar dari perusahaan itu. Apalagi bila dia masuk menjadi PNS atau Karyawan BUMN... Mereka bertahan berlama-lama, apapun yang terjadi, sejenuh apapun dia akan tetap bertahan.. sekesal apapun dia akan pendam kekesalannya dan bertahan di insitusi itu. Ketika karyawannya resign (bukan pensiun ya..) maka dia dianggap sebuah "keanehan" atau "sesuatu yang jelek pasti melatarbelakanginya" apalagi jika dia beralih ke kompetitor.. wah seolah-oleh dianggap "murtad" itu kawan.

Di sisi lain, perusahaan berlomba-lomba menjanjikan fasilitas pendukung supaya SELURUH Karyawannya betah, loyal bekerja (baca: mengabdi) sampai masa pensiun. Ada yang mendirikan Yayasan Dana Pensiun, Yayasan Kesehatan pasca Pensiun, manfaat pensiun yang besar, (janji) tunjangan hari tua, fasilitas kesehatan pasca pensiun, penghargaan masa bhakti , penghargaan purna bhakti.


It that all worthed ??
Dulu mungkin.. sekarang nggak lagi. Setidaknya menurut saya, konsep longlife employment sudah tidak sejalan lagi bagi perusahaan yang berorientasi bisnis yang menghadapi persaingan ketat dan tuntutan lingkungan yang amat cepat berubah. Bagi saya Lifetime employment is Dead !

Beberapa alasan sehingga saya berani mengatakan demikian:

  1. Tidak berarti turn over yang rendah itu baik. SDM itu seperti darah. Perlu berputar, sirkulasi. Perlu berganti. Darah yang sudah kurang baik atau mengalami kerusakan perlu dikeluarkan, ditransfusi dan diganti, diproduksi dengan darah baru. Darah yang tidak lancar mengalir, banyak koresterol kurang baik bagi tubuh.
  2. Lifetime employment menciptakan comfort zone. Apalagi bila perusahaan memberikan banyak sweeter bagi karyawan yang bersedia bertahan sampai usia pensiun. Semua orang mencari kenyamanan, tapi kondisi terlalu nyaman ternyata tidak menyehatkan mengingat comfort zone akan membuat orang kehilangan ambisi, moral yang apatis terhadap perubahan lingkungan dan kehilangan semnagat stive to the best.
  3. Ungkapan yang mengatakan bahwa SDM adalah asset yang paling berharga bagi perusahaan tidaklah 100% benar. Yang benar adalah SDM yang produktif yang menjadi asset paling berharga bagi perusahaan. Yang tidak produktif malah bisa menjadi liabilities.
  4. Ada ungkapan yang mengatakan Chicken stays eagle flies. Bila comfort zone tercipta, yang sadar (para eagles) keluar dari comfort zone itu, so... you have chickens left. Mending kalo yang menggantikan para eagles juga eagles, bagaimana jika para eagles keluar, digantikan little chicken or paralyzed eagles dan yang bertahan adalah yang dead wood ?
  5. Masih terkait dengan comfort zone dan para eagles itu. Jika ada ketidakpuasan, masih mending jika para eagles itu resign, kalo saja mereka bertahan dengan seluruh ketidakpuasananya, maka akan menjadi kontra produktif. Mereka akan frustasi, marah, mempengaruhi koleganya dan pada akhirnya menimbulkan budaya yang negatif. Kenapa mereka tidak resign ? salah satunya bisa jadi diakibatkan iming-iming long term benefit yang diciptakan perusahaan itu.
  6. Perusahaan yang menghadapi turbulensi dari lingkungan (atau minimal yang sadar akan adanya turubulensi itu), akan memasang strategi Efisiensi, Downsize dan Outsource, yang notabene bertentangan dengan konsep Lifetime Employment.
  7. Perusahaan yang menganut Lifetime employment, akan menghadapi tantangan transformasi yang lebih besar daripada yang tidak. Perusahaan seperti ini tidak akan berfikir untuk lay off besar-besaran ketika terjadi transformasi bisnis berubah, namun lebih cenderung berupaya mengubah karyawannya (culture & kompetensi) dan perubahan di sisi SDM yang begini adalah yang paling sulit dan mahal... (tapi mulia ya..)
  8. Loyalitas yang diciptakan perusahaan dengan berbagai fasilitas agar seluruh karyawan bertahan sampai usia pensiun, bagi perusahaan yang telah go public akan menimbulkan konsekuensi biaya aktuaria yang a'udzubillah, perhitungannya bisa seperti rentenir (kita nggak tau gimana ngitungnya, tau-tau auditor mencatatkan biaya yang besarnya segede gajah). Belum lagi bila tidak hati-hati dalam mendesain, bisa-bisa menimbulkan biaya yang berkategori PSL, sebuah biaya yang amat dibenci para investor dan auditor eksternal (PSL = Post Service Liabilities)

Sementara sekian dulu.. pada posting berikutnya, saya akan coba bahas bagaimana menghindari kemudharatan diatas. Salam SuksesBerkah.